triage pada bencana

BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Bencana merupakan suatu gangguan serius yang tejadi terhadap masyarakat yang menimbulkan kerugian secara meluas. Bencana bisa disebabkan oleh kebakaran, cuaca atau iklim (misal gempa bumi, angin ribut, dan tornado), ledakan, aktivitas teroris, radiasi atau tumpahan zat kimia, dan epidemi. Bencana dapat juga terjadi karena kesalahan manusia yang mencakup kecelakaan lalu lintas, kecelakaan pesawat udara, bangunan runtuh, dan kejadian lainnya (Oman, 2012).
Kejadian akibat bencana menimbulkan berbagai krisis kesehatan. Bencana meliputi faktor alam dan non alam termasuk didalamnya kecelakaaan yang menyebabkan pasien kritis. Pasien kritis memiliki morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Dampak bencana terhadap korban diantaranya adalah kasus trauma seperti risiko cidera kepala, cidera leher, cidera tulang belakang dan fraktur pada ekstermitas atas maupun ekstermitas bawah. Hal ini didukung dengan adanya angka kematian di Indonesia yang meningkat setiap tahunnya (BNPB, 2017).
Menurut Disaster Management in India (2020) beban bencana alam jatuh paling berat pada negara-negara berkembang lebih dari 95% dari peristiwa terkait bencana terjadi. Di India, 60% tanahnya rawan gempa 12% rawan banjir dan 8% rawan angin topan. Pada tahun 2019, di Wilayah Persatuan Pondicherry sekitar 107 kematian terjadi dan 30.000 orang kehilangan tempat tinggal. Indonesia merupakan salah satu Negara berkembang yang memiliki potensi tinggi bencana alam seperti tsunami dan gempa bumi, karena Indonesia terletak pada pertemuan lempeng Eurasia, Indo Australia, dan Samudra Pasifik melintasi Sumatra Barat, bagian utara Pulau Jawa, dan Bali. Selain itu Indonesia juga berpotensi mengalami gempa bumi yang bisa mengakibatkan tsunami (Sujarwo., et al, 2018).
Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) selama tahun 2018 sampai 2019 tercatat telah terjadi bencana alam sebanyak delapan bencana alam yaitu banjir terjadi sebanyak 391 kali, tanah longsor sebanyak 297 kali, gelombang pasang sebanyak 13 kali, putting beliung sebanyak 496 kali, kekeringan sebanyak 13 kali, kebakaran hutan sebanyak 96 kali, gempa bumi sebanyak 11 kali dan letusan gunung api sebanyak 5 kali. Dari delapan bencana alamyang menimpa Indonesia sepanjang tahun 2020 sampai 2021 memberikan dampak kerusakan mulai dari rusakberat sampai rusak ringan, dan menimbulkan korban jiwa, data dari Rencana Nasional Penanggulan Bencana tahun 2020-2024 terdapat 153 Kabupaten/Kota yang berada di zona bahaya tinggi gempa bumi. Sementara itu terdapat 203 juta jiwa penduduk yang berada di kawasan rawan gempabumi yang 60,9 juta jiwa diantaranya berada di zona bahaya tinggi gempa bumi (BNPB, 2021).
Data yang diperoleh dari BNPB dalam data informasi Bencana Indonesia (DIBI) menyebutkan bahwa pada tahun 2017 jumlah kejadian banjir adalah sebanyak 979 kali dalam total 2862 kejadian bencana, tanah longsor sebanyak 848 kali dalam total 2862 kejadian bencana dan angin puting beliung sebanyak 886 kali dalam 2862 kejadian bencana. Sedangkan jumlah korban jiwa pada tahun 2017 adalah sebanyak 378 meninggal dan hilang, 1042 luka-luka, dan 3.674.369 terdampak dan mengungsi serta sebagian fasilitas yang rusak sebanyak 117 unit fasilitas kesehatan,715 unit fasilitas peribadatan dan 1326 unit fasilitas pendidikan (BNPB,2017).
Kesiapsiagaan di bidang bencana perlu ditunjang dari berbagai hal, salah satunya adalah dengan baiknya sistem triage. Triage adalah cara pemilahan penderita berdasarkan kebutuhan terapi dan sumber daya yang tersedia. Terapi didasarkan pada keadaan ABC ( Airway, dengan cervical spine control, Breathing dan Circulation dengan control pendarahan). Triage berlaku untuk pemilahan penderita baik di lapangan maupun di Rumah Sakit (Meggy, dkk. 2017). Triage merupakan salah satu kegiatan yang paling penting di dalam manajemen korban massal. Triage dalam bencana massal membutuhkan metode yang cepat dan efektif, karena pada keadaan ini biasanya surveillans lebih banyak daripada petugas kesehatan dan juga sumber daya peralatan (Ardian, 2018).
Perawat dalam melakukan pengkajian dan menentukan prioritas perawatan (triage) tidak hanya didasarkan pada kondisi fisik, lingkungan dan psikososial pasien tetapi juga memperhatikan patient flow di departemen emergensi dan akses perawat. Triage departemen emergensi memiliki beberapa fungsi diantaranya : 1) identifikasi pasien yang tidak harus menunggu untuk dilihat, dan 2) memprioritaskan pasien (Mace and Mayer, 2013).
Seiring dengan berkembangnya penelitian di bidang gawat darurat, sejak tahun 1950an diterapkan metode triase di rumah sakit di Amerika Serikat, namun belum ada struktur yang baku. Seiring dengan perkembangan keilmuan dibidang gawat darurat, triase rumah sakit modern sudah berkembang menjadi salah satu penentu arus pasien dalam layanan gawat darurat (Budiaji, 2016).
Triase menjadi komponen yang sangat penting di unit gawat darurat terutama karena terjadi peningkatan drastis jumlah kunjungan pasien ke rumah sakit melalui unit ini. Berbagai laporan dari UGD menyatakan adanya kepadatan (overcrowding) menyebabkan perlu ada metode menentukan siapa pasien yang lebih prioritas sejak awal kedatangan. Ketepatan dalam menentukan kriteria triase dapat memperbaiki aliran pasien yang datang ke unit gawat darurat, menjaga sumber daya unit agar dapat fokus menangani kasus yang benar-benar gawat, dan mengalihkan kasus tidak gawat darurat ke fasilitas kesehatan yang sesuai.
Dalam rangka meningkatkan performa pelayanan di UGD, revitalisasi peran dan fungsi triase harus dilakukan. Untuk itu, perkembangan sistem triase rumah sakit diberbagai negara perlu diketahui, sehingga dapat dijadikan bahan pertimbangan apakah sistim triase modern tersebut relevan diterapkan di Indonesia (Budiaji, 2016).
Triase adalah proses pengambilan keputusan yang kompleks dalam rangka menentukan pasien mana yang berisiko meninggal, berisiko mengalami kecacatan, atau berisiko memburuk keadaan klinisnya apabila tidak mendapatkan penanganan medis segera, dan pasien mana yang dapat dengan aman menunggu. Berdasarkan definisi ini, proses triase diharapkan mampu menentukan kondisi pasien yang memang gawat darurat, dan kondisi yang berisiko gawat darurat.
Triase konvensional yang dikembangkan di medan perang dan medan bencana menetapkan sistim pengambilan keputusan berdasarkan keadaan hidup dasar yaitu ABC approach dan fokus pada kasus-kasus trauma. Setelah kriteria triase ditentukan, maka tingkat kegawatan dibagi dengan istilah warna, yaitu warna merah, warna kuning, warna hijau dan warna hitam. Penyebutan warna ini kemudian diikuti dengan pengembangan ruang penanganan medis menjadi zona merah, zona kuning, dan zona hijau. Triase bencana bertujuan untuk mengerahkan segala daya upaya yang ada untuk korban-korban yang masih mungkin diselamatkan sebanyak mungkin (Wilson, 2017).
Berdasarkan latar belakang diatas kelompok tertarik membahas tentang “Konsep Triage dan Model Model Triage Bencana.





  Tujuan
Tujuan Umum 
Mampu melakukan simulasi terkait Triage Bencana dan Model Model Triage Bencana 
Tujuan Khusus
Mahasiswa mampu memahami  Konsep Triage Bencana dan Model Model Triage Bencana
Mahasiswa mampu melakukan tindakan Triage Bencana dan Model Model Triage Bencana
   Manfaat Penelitian
Manfaat Teoritis
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi atau masukan bagi perkembangan ilmu keperawatan dan praktek pekerjaan perawat serta dapat menambah kajian ilmu keperawatan khususnya dibidang kecemasan pasien selama di IGD terkait dengan pengetahuan triase pasien.
Bagi Peneliti
Untuk menambah pengetahuan dan pengalaman dan dapat mengaplikasikan teori yang telah di dapat.
Bagi Pasien
Sebagai informasi kepada pasien tentang prioritas pelayanan pasien sesuai dengan triase.
Bagi Institusi Pendidikan
Sebagai salah satu pengembangan ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan triase.

Comments

Popular posts from this blog

Makalah triage, makalah gawat darurat, makalah keperawatan, makalah, triage, makalah triage komplit, makalah terbaru

ASUHAN KEPERAWATAN PADA WANITA DALAM MASA CHILDBEARING (HAMIL, MELAHIRKAN, DAN SETELAH MELAHIRKAN) BAYINYA

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN PENYAKIT JANTUNG KORONER