ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN SIROSIS HEPATIS
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN SIROSIS HEPATIS
DISUSUN OLEH :
Krismonika alfajaria
PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS NASIONAL
JAKARTA
2022
DAFTAR ISI
JUDUL i
DAFTAR ISI ………………………………………………………………. ii
KATA PENGANTAR iii
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah 1
Tujuan Penulisan 2
BAB II PEMBAHASAN
Anatomi Fisiologi 3
Definisi 6
Etiologi 6
Manifestasi Klinik 7
Patofisiologi 7
Pemeriksaan Penunjang 8
Komplikasi 10
Penatalaksanaan 12
Diagnosa Keperawatan 15
Intervensi Keperawatan 16
BAB III PENUTUP
Kesimpulan 22
Saran 23
LAMPIRAN
DAFTAR PUSTAKA
Kata Pengantar
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Sirosis Hepatis” dengan tepat waktu. Tidak lupa kami ucapkan terimakasih kepada Bapak Ns. Tommy Wowor S.Kep, MM selaku pengampu mata kuliah Keperawatan Kritis.
Makalah disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Keperawatan Kritis. Selain itu, makalah ini bisa menjadi referensi bagi mahasiswa lain untuk belajar tentang Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Sirosis Hepatis dengan bertujuan untuk memperluas wawasan dan memperdalam pengetahuan bagi para pembaca.
Penyusun menyadari bahwa makalah ini masih terdapat banyak kekurangan baik dari segi bahasa, pengolahan, maupun dalam penyusunannya. Oleh karena itu kami mengharapkan saran kritik yang sifatnya membangun demi tercapai suatu kesempurnaan dalam makalah kami.
Jakarta, Maret 2022
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Hati adalah organ intestinal terbesar dengan berat antara 1,2-1,8 kg atau kurang lebih 25% berat badan orang dewasa yang menempati sebagian besar kuadran kanan atasabdomen dan merupakan pusat metabolisme tubuh dengan fungsi yang sangat kompleks (Amirudin, 2015). Hati yang merupakan organ vital dengan fungsinya yang sangat kompleks diantaranya, metabolisme karbohidrat, lemak dan protein, sintesis protein plasma, pembentukan sel darah merah, pembentukan dan ekskresi empedu (Khalili dan Burman, 2014).
Penyakit hati (liver) merupakan salah satu penyakit yang masih menjadi masalah kesehatan, baik di negara maju maupun di negara yang sedang berkembang. Kerusakan atau masalah pada hati dapat disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya obat-obatan yang sering dikonsumsi serta melebihi kadar yang dianjurkan, toksin dari makanan, alkohol, dan virus hepatitis. Kerusakan hati apabila dibiarkan selama bertahun-tahun maka akan terjadi penyakit hati kronis salah satunya adalah sirosis hepatis (Sinurat dan Purba, 2018 ).
Sirosis hepatis merupakan salah satu dari penyebab kematian terbanyak setelah penyakit kardiovaskular dan kanker. Penderita sirosis hepatis menempati urutan ketujuh penyebab kematian didunia sekitar 25.000 orang meninggal setiap tahunnya (Maharani dkk, 2018). Hasil Riskesdas (2018), prevalensi hepatitis di Indonesia adalah 0,4%. Tiga provinsi dengan prevalensi hepatitis tertinggi adalah Papua (0,7%), Nusa Tenggara Barat (0,6%) dan Gorontalo (0,6%). Prevalensi hepatitis di Jawa Tengah adalah (0,3%) .
Anamnesis yang perlu ditanyakan pada klien yaitu konsumsi alkohol jangka panjang, penggunaan narkotik suntik, dan juga mengalami penyakit hati menahun (Kusumobroto, 2012). Sebagian besar pasien dengan sirosis kompensasi tetap tanpa gejala. Ketika gejala terjadi, mereka termasuk kelelahan, kelemahan, kehilangan nafsu makan, ketidaknyamanan kuadran kanan atas, dan penurunan berat badan yang tidak bisa dijelaskan. Dengan timbulnya dekompensasi, pasien dapat melaporkan gejala gangguan hati fungsi seperti ikterus, hipertensi portal (termasuk asites dan edema perifer), dan ensefalopati hepatik (seperti kebingungan dan gangguan tidur) (Smith et al., 2019).
Pemeriksaan fisik yang dilakukan meliputi 1) hepatomegaly dan atau splenomegali. Pada palpasi, hati teraba lebih keras dan berbentuk lebih ireguler daripada hati yang normal. Spider telangictasias, terutama pada pasien dengan sirosis alkoholik, 2) spider ini terutama ditemukan di kulit dada. Namun, spider juga dapat dijumpai pada mereka yang tidak mempunyai penyakit hati, 3) ikterus atau jaundice, 4) asites dan edema 5) pasien dengan deposit tembaga (copper) yang abnormal di matanya atau menunjukkan gejala-gejala neurologi tertentu, mungkin mengidap penyakit Wilson, yang merupakan kelainan genetik akibat akumulasi tembaga yang abnormal di seluruh tubuh, termasuk dalam hati yang dapat menimbulkan sirosis (Kusumobroto, 2012).
Proses keperawatan merupakan pendekatan pemecahan masalah yang digunakan untuk memenuhi perawatan kesehatan dan kebutuhan keperawatan pasien. Proses keperawatan melibatkan lima tahapan yaitu pengkajian (pengumpulan data), diagnosis keperawatan, perencanaan, implementasi, dan evaluasi. Proses keperawatan bersifat berkelanjutan, dinamis, dan siklik (Siregar et al., 2021).
Tujuan
Tujuan umum
Mampu menerapkan filosofi, konsep holistik dan proses keperawan kritis pada klien dengan Sirosis Hepatis.
Tujuan khusus
Mahasiswa mampu memahami teori Sirosis Hepatis
Mahasiswa mampu memahami konsep teori asuhan keperawatan Sirosis Hepatis
BAB II
TIINJAUAN PUSTAKA
Anatomi Fisiologi
Hati adalah kelenjar yang paling besar serta organ metabolik utama pada tubuh dengan berat 1200-1800 gram. Hati berada intraperitoneal tepat di epigastrium kanan (Paulsen & Waschke, 2012). Untuk batas atas hati berada sejajar dengan ruang interkostal V kanan sedangkan batas bawahnya berada menyerong ke atas dari iga IX kanan ke iga VIII kiri. Sistem porta dapat ditemukan di depan vena kava dan di balik kandung empedu (Amirudin, 2015).
Hati memiliki facies diaphragmatica yang menempel pada sebagian diafragma dan juga facies visceralis dengan bagian tepi bawah anterior mengarah ke organ- organ dalam abdomen. Hati terbagi menjadi lobus kanan dan kiri, dengan lobus kanan yang lebih besar. Kedua lobus ini dipisahkan oleh ligamentum falciforme di bagian ventral. Lanjutan dari ligamentum falciforme adalah ligamentum coronarium dan akan berlanjut juga menjadi ligamentum triangulare dextrum dan sinistrum yang akan menghubungkan diafragma. Di facies visceralis, fissura yang berlanjut ke porta hepatis adalah ligamentum teretis hepatis. Terdapat dua lobus quadratus di ventral dan juga lobus caudatus di dorsal (Snell, 2012).
Hati diperdarahi oleh arteri hepatika propria, arteri ini berasal dari arteri hepatika komunis. Hati juga mempunyai sistem vena, yaitu vena porta hepatika. Vena ini berasal dari tiga vena utama yaitu, vena mesenterika superior bersatu dengan vena splenika, dan ada juga peran dari vena mesenterika inferior (vena ini ada yang bermuara ke vena splenika, dan ada juga ke vena mesenterika superior) (Paulsen & Waschke, 2012).
Gambar 2.1. Anatomi hati (Paulsen & Waschke, 2012)
Gambar 2.2. Ilustrasi skematik segmen-segmen hati (Paulsen & Waschke, 2012)
Secara mikroskopis adanya 50.000-100.000 lobulus di dalam hati manusia, setiap lobulus berbentuk heksagonal. Lobulus tersebut terdiri atas sel hati berbentuk kubus yang tersusun radial mengelilingi vena sentralis. Di antara lembaran sel hati didapati adanya kapiler yang disebut sinusoid yang merupakan cabang vena porta dan arteri hepatika. Sinusoid dibatasi oleh sel fagositik (sel kupffer) yang merupakan sistem retikuloendotelial. Sel fagositik (sel kupffer) berfungsi menghancurkan bakteri dan benda asing lain di dalam tubuh. Oleh karena itu, hati merupakan salah satu organ utama pertahanan tubuh terhadap serangan bakteri dan organ toksik. Selain cabang-cabang vena porta dan arteri hepatika yang mengelilingi bagian perifer lobulus hati, adanya saluran empedu yang membentuk kapiler empedu yang dinamakan kanalikuli empedu yang berjalan diantara lembaran sel hati (Amirudin, 2015).
Dalam sistem pencernaan, hati berperan sebagai sekresi garam empedu dan untuk penyerapan dan pencernaan lemak. Selain itu, hati berperan sebagai :
Pemrosesan metabolik kategori-kategori utama nutrien (karbohidrat, protein, dan lemak) setelah zat-zat ini diserap dari saluran cerna.
Mendetoksifikasi atau menguraikan zat sisa tubuh dan hormon serta obat dan senyawa asing lain.
Membentuk protein plasma, termasuk protein yang dibutuhkan untuk pembekuan darah yang mengangkut hormon steroid dan tiroid serta kolesterol dalam darah dan angiotensinogen.
Menyimpan glikogen, lemak, besi, tembaga, dan banyak vitamin.
Mengaktifkan vitamin D yang dilakukan hati bersama dengan ginjal.
Mengeluarkan bakteri dan sel darah merah tua, berkat adanya makrofag residen.
Menyekresi hormon trombopoietin (merangsang produksi trombosit), hepsidin (menghambat penyerapan besi dari usus), faktor pertumbuhan mirip insulin-1.
Memproduksi protein fase akut yang penting dalam inflamasi (Sherwood, 2016).
Definisi
Sirosis hati adalah jaringan parut pada hati yang disebabkan oleh kerusakan hati jangka panjang. Jaringan parut menghalangi aliran darah melalui hati dan memperlambat kemampuan hati untuk memproses nutrisi, hormon, obat-obatan, dan racun alami (Kurniawidjaja et al., 2019).
Sirosis hati merupakan tahap akhir proses difus fibrosis hati progresif yang ditandai oleh distorsi arsitektur hati dan pembentukan nodul regeneratif. Gambaran morfologi dari sirosis hati meliputi fibrosis difus, nodul regenatif, perubahan arsitektur lobular dan pembentukan hubungan vascular intrahepatik antara pembuluh darah hati aferen (vena porta dan arteri hepatika) dan eferen (vena hepatika) (Nurdjanah, 2015).
Etiologi
Penyebab sirosis hepatis yang paling sering adalah hepatitis C kronik, hepatitis B kronik dan penyakit hepar akibat alcohol dan non alcohol seperti non-alkoholik fatty liver disease (NAFLD) dan non-alkoholik steatohepatitis (NASH). Sementara penyebab sirosis hepatis yang lainnya adalah seperti hepatitis autoimun, penyakit yang merusak kerja, menghilangkan fungsi atau menghalangi aliran dari empedu, penyakit turunan yang mempengaruhi fungsi hepar seperti penyakit Wilson, hemokromatosis herediter, dan infeksi jarang pada hepar seperti infeksi hepatitis D yang hanya terjadi pada pasien yang telah terlebih dahulu terinfeksi hepatitis B, serta penyebab-penyebab lainnya seperti reaksi terhadap obat tertentu, paparan lama terhadap suatu bahan kimiawi yang bersifat toksik, infeksi parasit, kongesti hepat akibat kegagalan jantung kronis, trauma pada hepar, dan perlukaan lain yang dapat penyebabkan perlukaan kronik. (National Digestive Diseases Information Clearinghouse, 2014).
Manifestasi Klinik
Manifestasi klinis dari disfungsi hepatoseluler yang progresif pada sirosis mirip dengan hepatitis akut atau kronis dan termasuk gejala dengan tanda kelelahan, kehilangan semangat, penurunan berat badan, gangguan GI dengan tanda-tanda mual, muntah, jaundice, hepatomegali dan gejala ekstrahepatik dengan tanda-tanda eritema palmaris, spider angioma, atrofi otot, parotis dan pembesaran kelenjar lakrimal, ginekomastia dan atrofi testis pada pria, gangguan menstruasi pada wanita dan koagulopati (Khalili dan Burman, 2014).
Patofisiologi
Sirosis hepatis terjadi akibat transisi penyakit liver kronik dalam waktu yang panjang melibatkan inflamasi, aktivasi sel stellata hepatic dengan fibrogenesis, angiogenesis, dan lesi parenkim oleh oklusi vascular. Prosesproses ini menyebabkan perubahan mikrovaskular hepar, remodeling sinusoidal (deposisi matriks ekstraseluler dari sel stellata yang aktif berproliferasi), formasi pembuluh darah intrahepatik (akibat angiogenesis dan hilangnya sel parenkim), dan disfungsi endotelial hepatik. Disfungsi endotel ini diakibatkan oleh kurangnya pelepasan insufisien dari nitrit oksida oleh karena rendahnya aktivitas endotel nitrit oksida sintetase, kurangnya kofaktor, dan tingginya konsentrasi vasokontriktor endogen (seperti stimulasi adrenergic, thromboxan A2, aktivasi sistem rennin-angiotensin, hormone antidiuretik, dan endotelin).
Peningkatan resistensi terhadap aliran darah portal menyebabkan peningkatan tekanan darah portal, resisten vaskular total, dan abnormalitas fungsional yang menyebabkan disfungsi endotel lebih lanjut dan peningkatan tonus vaskular hepar. Vasodilatasi aliran darah limpa juga terjadi dan menyebabkan peningkatan aliran darah ke sistem vena portal yang menyebabkan terjadinya respon adaptif sehingga terjadi perubahan haemodinamik intrahepatik yang terjadi pada sirosis. Pada fase lebih lanjut, hal ini menyebabkan asites dan sindroma hepatorenal, sindroma hepatopulmo, hipertensi hepatopulmo, pembentukan dan pembesaran varises (yang akan menjadi perdarahan dengan dipengaruhi oleh faktor angiogenesis dan faktor pertumbuhan endotel vaskuler), dilatasi mukosa gaster yang menyebabkan hipertensi portal gastropati. Kemudian, penutupan aliran darah portal ke sirkulasi sistemik akibat perdarahan tersebut akan mengakibatkan gangguan perdarahan kolateral portosistemik sehingga menyebabkan hepatik ensefalopati, dan akhirnya akan menyebabkan gagalnya fungsi hepar. (Tsochatzis E.A et al., 2014).
Pemeriksaan Penunjang
Data laboratorium yang dijumpai pada pasien sirosis antara lain:
Aminotransferase: Aspartat aminotransferase (AST) dan alanin aminotransferase (ALT) biasanya cukup tinggi pada pasien sirosis. AST lebih sering meningkat daripada ALT. Namun, tidak selalu terjadi peningkatan pada pasien sirosis (Goldberg dan Chopra, 2015).
Alkaline fosfatase: Alkaline fosfatase biasanya meningkat pada sirosis, tetapi kurang dari dua sampai tiga kali dari nilai normal. (Goldberg dan Chopra, 2015).
Gammaglutamyl transpeptidase: Gammaglutamyl transpeptidase (GGT) berkorelasi cukup baik dengan alkali fosfatase pada penyakit hepar dan bersifat spesifik. GGT biasanya jauh lebih tinggi pada penyakit hepar kronis yang disebabkan oleh alkohol dibandingkan penyebab lain (Goldberg dan Chopra, 2015).
Bilirubin: Pada pasien sirosis terkompensasi kadar bilirubin normal. Namun, kadar akan meningkat sesuai progresivitas penyakit (Goldberg dan Chopra, 2015).
Albumin: Albumin disintesis secara eksklusif di hepar. Kadar albumin menurun menunjukkan fungsi sintetis dari hepar yang menurun akibat sirosis. Kadar albumin dapat digunakan untuk mengetahui tingkat keparahan sirosis. Hipoalbuminemia tidak spesifik untuk penyakit hepar, karena kondisi lain juga dapat terjadi hipoalbuminemia seperti gagal jantung, sindrom nefrotik, protein kehilangan enteropati, atau malnutrisi (Goldberg dan Chopra, 2015).
Tes lain fungsi hati: Kemampuan hati untuk mengangkut anion organik dan memetabolisme obat sehingga terdapat banyak tes untuk menilai fungsi hati. Hiponatremia, umum terjadi pada pasien sirosis. Berbagai faktor dapat berkontribusi pada terjadinya hiponatremia. Faktor yang paling penting adalah vasodilatasi sistemik, yang menyebabkan aktivasi vasokonstriktor endogen termasuk hormon antidiuretik (ADH), ADH menyebabkan retensi air sehingga terjadi penurunan natrium (Sterns dan Runyon, 2014).
Trombositopenia terutama disebabkan oleh hipertensi portal dan splenomegali kongestif. Pembesaran limpa dapat mengakibatkan penyerapan trombosit hingga 90 persen. Penurunan kadar trombopoietin juga dapat berkontribusi terjadinya trombositopenia (Goldberg dan Chopra, 2015).
Anemia biasanya akut dan terjadi karena perdarahan kronis gastrointestinal, defisiensi folat, toksisitas langsung karena alkohol, hipersplenisme, penekanan sumsum tulang (anemia aplastik), anemia penyakit kronis (inflamasi), dan hemolisis (Goldberg dan Chopra, 2015).
Leukopenia dan neutropenia karena hipersplenisme dengan marginasi limpa (Goldberg dan Chopra, 2015).
Pemeriksaan CT scan (CAT) atau MRI dan USG
Pemeriksaan radiologinya, ada pemeriksaan radiologi yang dapat dilakukan yaitu ultrasonografi (USG) abdomen. Pemeriksaan ini merupakan pencitraan lini pertama yang dilakukan pada pasien yang diduga sirosis hati. Pemeriksaan ini didapati permukaan hati yang ireguler karena terdapat fibrosis dan hiperekoik. Mengecilnya ukuran kedua lobus hati (Wahyudo, 2015). Modalitas radioimaging yang lebih maju yaitu seperti penggunaan CT Scan dan MRI. Deteksi varises esofagus yang besar dapat menggunakan CT Scan dan MRI (Procopet & Berzigotti, 2018).
Pemeriksaan Endoskopi
Endoskopi saluran pencernaan bagian atas adalah metode standar emas untuk mendiagnosis adanya varises gastroesofagus dan mengidentifikasi tanda-tanda risiko perdarahan (ukuran besar; tanda merah). Endoskopi tetap diperlukan untuk mengidentifikasi tanda-tanda portal lainnya seperti hipertensi seperti gastropati hipertensi yang sering terjadi penyebab perdarahan ringan pada pasien sirosis hati (Procopet & Berzigotti, 2018).
Biopsi Hati
Biopsi Hati Gold standard untuk diagnosis penyakit ini adalah biopsi hati. Ketika gejala klinis sudah terlihat biopsi hati tidak diperlukan karena pemeriksaan invasive ini bisa menimbulkan infeksi peritoneal dan juga ada risiko perdarahan. Perubahan patologis mungkin heterogen, oleh karena itu, kesalahan pengambilan sampel adalah umum, dan interpretasi harus dilakukan oleh yang berpengalaman ahli patologi menggunakan sistem penilaian yang divalidasi (Smith et al., 2019).
Komplikasi
Hipertensi Portal Hipertensi portal merupakan meningkatnya tekanan pada vena portal lebih besar dari 5 mmHg. Hal ini terjadi karena adanya peningkatan dari tahanan pada pembuluh darah intrahepatik. Komplikasi ini terjadi bila perbedaan tekanan antara vena porta dan vena cava inferior diatas 10-12 mmHg. Proses terjadinya hipertensi portal oleh karena adanya 1). Meningkatnya tahanan intrahepatik terhadap aliran darah porta oleh karena adanya nodul degeneratif dan 2). Meningkatnya aliran darah splanchnic sekunder oleh karena adanya vasodilatasi pada splanchnic vascularbed (Nurdjanah, 2015).
Asites Hipoalbumin dan hipertensi portal merupakan penyebab dari asites (Tasneem et al., 2015). Asites merupakan komplikasi yang paling umum. Ada beberapa faktor yang menjadi patofisiologi asites terjadi karena yaitu, hipertensi portal, aktivitas neurohormonal, dan vasodilatasi arteri perifer. Yang menjadi faktor paling utama terjadinya asites karena adanya gangguan ekskresi natrium ginjal sehingga terjadi kelebihan natrium dan juga kelebihan air menyebabkan perluasan dari volume cairan ke ekstrasel. Penurunan ekskresi natrium menyebabkan vasodilatasi arteri yang akan memicu neurohormonal seperti Renin Angiotensin Aldosteron System (RAAS) dan vasokonstriksi ginjal dan juga retensi natrium merupakan penyebab dari sistem saraf sistem saraf simpatis dan nantinya akan menimbulkan asites pada penderita sirosis hati (Pedersen et al., 2015).
Varises Esofagus Varises esofagus adalah pembesaran yang abnormal pada pembuluh darah vena di esofagus dan juga di lambung yang akan membentuk varises yang dapat mengakibatkan tekanan portal meningkat dan akan berujung kepada perdarahan (Muir, 2015). Ketika terhambatnya aliran darah secara progresif, inilah yang akan menyebabkan tekanan vena porta intrahepatik meningkat. Akibat peningkatan ini maka terjadi penurunan dari ketebalan dinding pembuluh darah dan juga akan mengalami pembesaran pembuluh darah (varises esofagus). Perdarahan varises dapat terjadi pada pasien sirosis hati sekitar 25-40% dan menjadi penyebab utama untuk angka morbiditas dan mortalitas. Setiap terjadinya perdarahan varises aktif dihubungkan dengan risiko mortalitas 30%, dan pasien yang selamat memiliki risiko perdarahan berulang dalam kurun waktu 1 tahun sebesar 70% (Hammer & Mcphee, 2014).
Peritonitis Bakterial Spontan Peritonitis bakterial spontan (SBP) adalah komplikasi yang berat dan paling umum terjadi pada asites, ditandai dengan infeksi yang spontan cairan asites dengan tidak adanya fokus infeksi intra-abdominal (Pleguezuelo et al., 2013). Jumlah yang mengalami peritonitis bakterial spontan berkisar 30% dan angka mortalitasnya 25%. Bakteri usus yang menyebabkan peritonitis bakterial spontan berkisar 30% adalah Escheria coli, selain itu Streptococcus viridians, Staphylococcus amerius yang merupakan bakteri gram positif dapat ditemukan. Untuk penegakan diagnosisnya bila pada sampel cairan asites nilai dari angka sel neutrofil >250/mm3 (Nurdjanah, 2015).
Ensefalopati hepatik
Ensefalopati didefinisikan sebagai perubahan status mental atau neuropsikiatrik dan fungsi kognitif yang terjadi karena gagal hati (Bacon, 2010). Perubahan pola tidur dimulai dengan hipersomnia dan pembalikan siklus tidur-bangun seringkali merupakan tanda awal. Perubahan kognitif dari kebingungan, apatis dan agitasi, obtundation, dan bahkan koma (Khalili dan Burman, 2014). Pemicu umum ensefalopati adalah timbulnya perdarahan GI, peningkatan intake protein dan meningkatnya katabolik akibat infeksi termasuk SBP (Khalili dan Burman, 2014).
Sindrom Hepatorenal Sindrom Hepatorenal (SHR) adalah terganggunya fungsi ginjal tanpa adanya kelainan organik pada ginjal. Komplikasi ini ditandai dengan adanya gangguan dari fungsi ginjal, fungsi dari kardiovaskular mengalami perubahan, saraf simpatis dan sistem renin angiotensin mengalami aktivitas yang berlebih, akibatnya terjadi vasokonstriksi ginjal yang berat dan nantinya akan mengalami penurunan laju filtrasi glomerulus (Rey et al., 2018). Asites refrakter biasanya akan mengalami sindrom hepatorenal. Sindroma Hepatorenal tipe 1 ditandai dengan adanya gangguan fungsi dari ginjal yang progresif dan menurunnya klirens kreatinin secara bermakna dalam kurun waktu 1-2 minggu. Tipe 2 ditandai dengan menurunnya filtrasi glomerulus dengan meningkatnya serum kreatinin. Tipe 1 tidak lebih baik prognosisnya daripada tipe 2 (Nurdjanah, 2015).
Penatalaksanaan Medis
Sirosis bisa tetap dalam kondisi kompensasi sampai bertahun-tahun sebelum nantinya akan berkembang menjadi dekompensata yang ditandai dengan asites, perdarahan varises, dan ensefalopati hepatikum. Penatalaksanaan pada penderita sirosis hati haruslah berdasarkan pencegahan dan perkembangan sirosis hati tersebut. Ada dua pendekatan dalam penatalaksanaan sirosis hati, yaitu pendekatan pertama merupakan pengobatan etiologi yang akan menyebabkan peradangan hati dan juga perkembangan dari sirosis hati tersebut, sedangkan pada pendekatan yang kedua didasarkan pada pengobatan komplikasi dari sirosis hati tersebut (Piano et al., 2018).
Pendekatan pada pengobatan etiologi yang menjadi perkembangan sirosis hati sebagai berikut:
Identifikasi dan hilangkan penyebab dari perkembangan sirosis hati (contohnya, penyalahgunaan alkohol).
Menilai risiko terjadinya pendarahan varises dan memulai profilaksis farmakologi, pada pasien yang berisiko tinggi atau dapat mengalami perdarahan berkelanjutan dapat dilakukan pemeriksaan endoskopi.
Tanda-tanda klinis asites pada pasien sirosis hati harus dipantau dan diberi diuretik (pengobatan farmakologi) dan juga parasintesis. Peritonitis bakterial spontan (SBP) pada pasien yang mengalami asites harus dipantau.
Pengobatan pada hepatik ensefalopati yang menjadi komplikasi umum dari sirosis adalah dengan melakukan pembatasan diet, meniadakan depresan SSP, dan terapi yang bertujuan untuk menurunkan kadar amonia.
Sindrom hepatorenal perlu sering dilakukan monitoring (Dipiro et al., 2015).
Penatalaksanaan Komplikasi Sirosis Hati:
Hipertensi Portal
Pengobatan pada komplikasi ini adalah non-selektif β-blockers (NSBBs) seperti propranolol dan nadolol. Obat ini bertujuan untuk menurunkan tekanan pada darah portal dengan menurunkan aliran vena portal dengan melalui dua proses, yaitu penurunan aliran darah splanknik dan penurunan cardiac output (Dipiro et al., 2015). Target dari terapi ini adalah mengurangi tekanan portal menjadi di bawah 12 mmHg. Propranolol dosis tinggi (> 80 mg/hari) harus dihindari (Piano et al., 2018). Waktu paruh nadolol lebih lama dibandingkan propranolol dikarenakan rendahnya kelarutan lemak sehingga dosisnya adalah sehari dosisnya sekali (Tripathi & Hayes, 2014).
Asites
Tirah baring, diet rendah garam adalah mengonsumsi garam 5,2 gram, bisa dikombinasikan dengan spironolakton 100-200 mg/hari jika tidak berhasil. Untuk respons pada diuretik dapat dimonitor dengan terjadinya penurunan 0,5 kg/hari dengan tidak adanya edema dan adanya edema terjadi penurunan berat badan sebesar 1 kg/hari. Jika spironolakton tidak ampuh, dapat dikombinasikan dengan furosemida sebesar 20-40 mg/hari, dan maksimal 160 mg/hari. Paraseintesis dapat dilakukan jika asitesnya sangat besar dengan dikeluarkan sampai 4-6 liter dan diberi albumin (Nurdjanah, 2015).
Varises Esofagus
Ligasi pita endoskopi atau non-selektif beta bloker sebagai profilaksis. Profilaksis dengan non-selektif beta bloker harus tidak terbatas (Smith et al., 2019). Octreotide diberikan melalui IV bolus 50 mcg kemudian diikuti dengan infus kontinu 50 mcg/jam serta melakukukan pemantauan apakah terjadi hiperglikemi atau hipoglikemi pada penderita sirosis hati. Terapi lebih awal untuk mencegah infeksi adalah antibiotik, norfloksasin (2 x 400 mg) po atau siprofloksasin iv sudah dianjurkan (Dipiro et al., 2015).
Peritonitis Bakterial Spontan
Sefalosporin memiliki hasil yang menguntugkan karena sekitar 29 organisme rentan pada obat ini (Purohit & Cappell, 2015). EASL (European Association for the Study of Liver) melaporkan dengan salah satu studinya Albumin infusion improves outcomes of patient with spontaneous bacterial peritonitis yang pada studinya dia membandingkan terapi cefotaxime dengan cefotaxime plus albumin menyatakan penatalaksanaan komplikasi ini diberikan terapi antibiotik cefotaxime lebih efektif jika dikombinasikan dengan infus albumin untuk menurunkan kejadian gangguan fungsi pada ginjal (Salerno & La Mura, 2015). Pada peritonitis bakterial spontan, infeksi harus segera dideteksi dan secepat mungkin diobati dengan antibiotik cefotaxime dan ceftriaxone, karena dapat memiliki prognosis yang buruk dan kematian jika tidak segera ditangani (O’Rourke et al., 2018).
Hepatik Ensefalopati
Pengurangan konsentrasi amonia darah melalui pembatasan diet, merupakan pendekatan untuk melakukan pengobatan pada komplikasi ini. Terapi obat bertujuan untuk menghambat produksi dari amonia atau dapat juga dengan meningkatkan pembuangan dari amonia tersebut (laktulosa dan antibiotik). Membatasi protein sampai kondisi klinik membaik untuk mengurangi konsentrasi amonia. Untuk terjadinya defekasi dapat diberi laktulosa setiap jam sebesar 30-45 mL sirup oral 3-4 kali/hari sampai 2-4 kali BAB/hari dan perbaikan status mental. Pasien yang tidak respon terhadap diet dan laktulosa, metronidazol atau neomisin (4-12 g oral/hari dibagi tiap 6-8 jam) merupakan antibiotik yang dapat digunakan. Rifaximin (2 x 550 mg) per oral dan laktulosa bisa diberikan untuk pasien yang diberikan laktulosa saja namun tidak memberikan respon. (Dipiro et al., 2015).
Sindrom Hepatorenal
Penatalaksanaan komplikasi ini dilakukan dengan metode Transjugular intrahepatic portosystemic shunt, ini efektif menurunkan menurunkan perdarahan gastrointestinal dan hipertensi porta. Jika terapi medis gagal dapat dipertimbangkan untuk melakukan transplantasi hati yang menjadi terapi definitif. Pengobatan efektif untuk komplikasi belum ada untuk sampai saat ini. Sehingga, diet tinggi kalori dan rendah protein, hindari OAINS, dan juga koreksi keseimbangan asam basa merupakan pencegahan yang sangat diutamakan (Rey et al., 2018).
Diagnosa Keperawatan
Pola nafas tidak efektif (D.0005)
Defisit nutrisi (D.0019)
Hipovolemia (D.0023)
Kerusakan integritas kulit (D.0123)
Nyeri akut (D.0077)
Intoleransi aktivitas (D.0056)
Risiko perdarahan (D.0012)
Intervensi Keperawatan
Pola nafas tidak efektif (D.0005)
Intervensi Utama: Manajemen Jalan Nafas (I.01011) dan Pemantauan Respirasi (I.01014)
Manajemen Jalan Nafas (I.01011)
Observasi
Monitor pola nafas (frekuensi, kedalaman, usaha nafas)
Monitor nafas tambahan (mis. Gurgling, mengi, wheezing, ronkhi)
Monitor sputum (jumlah, warna, aroma)
Terapeutik
Pertahankan kepatenan jalan nafas dengan head tilt dan chin lift (jaw thrust jika curiga trauma servikal)
Posisi semi fowler atau fowler
Berikan minuman hangat
Lakukan fisioterapi dada, jika perlu
Lakukan penghisapan lender kurang dari 15 detik
Berikan oksigen, jika perlu
Edukasi
Ajarkan Teknik batuk efektif
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran, mukolitik, jika perlu
Pemantauan Respirasi (I.01014)
Observasi:
Monitor frekuensi, irama, kedalaman dan upaya nafas
Monitor adanya sumbatan jalan nafas
Palpasi kesimetrisan ekspansi paru
Monitor adanya produk sputum
Auskultasi bunyi nafas
Monitor Saturasi Oksigen
Monitor nilai AGD
Monitor hasil X-ray Thoraks
Terapeutik:
Atur internal pemantauan respirasi sesuai kondisi pasien
Dokumentasikan hasil pemantauan
Edukasi:
Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
Informasikan hasil pemantaun, jika perlu
Defisit nutrisi (D.0019)
Manajemen Nutrisi (I.03119)
Observasi
Identifikasi status nutrisi
Identifikasi alergi dan intoleransi makanan
Identifikasi makanan yang disukai
Identifikasi kebutuhan kalori dan jenis nutrien
Identifikasi perlunya penggunaan selang nasogastrik
Monitor asupan makanan
Monitor berat badan
Monitor hasil pemeriksaan laboratorium
Terapeutik
Lakukan oral hygiene sebelum makan, jika perlu
Fasilitasi menentukan pedoman diet (mis. piramida makanan)
Sajikan makanan secara menarik dan suhu yang sesuai
Berikan makanan tinggi serat untuk mencegah konstipasi
Berikan makanan tinggi kalori dan tinggi protein
Berikan suplemen makanan, jika perlu
Hentikan pemberian makan melalui selang nasogastrik jika asupan oral dapat ditoleransi
Edukasi
Anjurkan posisi duduk, jika mampu
Ajarkan diet yang diprogramkan
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian medikasi sebelum makan (mis. pereda nyeri, antiemetik), jika perlu
Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan jenis nutrien yang dibutuhkan, jika perlu
Hipovolemia
Manajemen hipovolemia I.03116
Observasi
Periksa tanda dan gejala hipovolemia (mis. Frekuensi nadi meningkat, nadi teraba lemah, tekanan darah menurun, tekanan nadi menyempit, turgor kulit menurun, membran mukosa kering, volume urin menurun, hematokrit meningkat, haus, lemah)
Monitor intake dan output cairan
Terapeutik
Hitung kebutuhan cairan
Berikan posisi modified Trendelenburg
Berikan asupan cairan
Edukasi
Anjurkan memperbanyak asupan cairan oral
Anjurkan menghindari perubahan posisi mendadak
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian cairan IV isotonis (mis. NaCl, RL)
Kolaborasi pemberian cairan IV hipotonis (mis. Glukosa 2,5%, NaCl 0,4%)
Kolaborasi pemberian cairan IV koloid (mis. Albumin, Plasmanate)
Kolaborasi pemberian produk darah)
Kerusakan integritas kulit (D.0123)
Perawatan integritas kulit (I. 11353)
Observasi
Identifikasi penyebab gangguan integritas kulit (mis. Perubahan sirkulasi, perubahan status nutrisi, penurunan kelembaban, suhu lingkungan ekstrem, penurunan mobilitas)
Terapeutik
Ubah posisi tiap 2 jam jika tirah baring
Gunakan produk berbahan petrolium atau minyak pada kulit kering
Gunakan produk berbahan ringan/alami dan hipoalergik pada kulit sensitive
Hindari produk berbahan dasar alkohol pada kulit kering
Edukasi
Anjurkan menggunakan pelembab (mis. Lotion, serum)
Anjurkan minum air yang cukup
Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
Anjurkan meningkatkan asupan buah dan sayur
Anjurkan menghindari terpapar suhu ekstrem
Anjurkan menggunakan tabir surya SPF minimal 30 saat berada di luar rumah
Anjurkan mandi dan menggunakan sabun secukupnya
Nyeri akut (D.0077)
Manajemen nyeri (I.08238)
Observasi
Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
Identifikasi skala nyeri
Identifikasi respons nyeri non verbal
Identifikasi factor yang memperberat dan memperingan nyeri
Identifikasi pengetahuan dan keyakinan nyeri
Monitor efek samping penggunaan analgetik
Terapeutik
Berikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
Fasilitasi istirahat dan tidur
Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan strategi meredakan nyeri
Edukasi
Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
Jelaskan strategi meredakan nyeri
Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
Ajarkan teknin non farmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian analgetic, jika perlu
Intoleransi Aktivitas (D.0056)
Manajemen energi (I.05178)
Observasi
Identifikasi gangguan fungsi tubuh yang mengakibatkan kelelahan
Monitor lokasi dan ketidaknyamanan selama melakukan aktivitas
Terapeutik
Lakukan Latihan rentang gerak pasif dan/atau aktif
Sediakan lingkungan nyaman dan rendah stimulus
Berikan aktivitas distraksi yang menyenangkan
Edukasi
Anjurkan tirah baring
Anjurkan melakukan aktivitas secara bertahap
Ajarkan strategi koping untuk mengurangi kelelahan
Kolaborasi
Kolaborasi dengan ahli gizi tentang cara meningkatkan asupan makanan
Risiko perdarahan
Pencegahan Perdarahan I.02067
Observasi
Monitor tanda dan gejala perdarahan
Monitor nilai hematokrit/hemoglobinsebelum dan setelah kehilangan darah
Monitor tanda-tanda vital ortostatik
Monitor koagulasi (mis. Prothombin time (PT), partial thromboplastin time (PT), fibrinogen,degradasi fibrin, dan/atau platelet)
Terapeutik
Pertahankan bed rest selama perdarahan
Batasi tindakan invasif, jika perlu
Gunakan kasur pencegah dekubitus
Hindari pengukuran suhu rektal
Edukasi
Jelaskan tanda dan gejala perdarahan
Anjurkan mneggunakan kaus kasi saat ambulasi
Anjurkan meningkatkan asupan cairan untuk menghindari konstipasi
Anjurkan untuk mengindari aspirin atau antikoagulan
Anjurkan meningkatkan asupan makanan dan vitamin K
Anjurkan segera melaporkan jika terjadi perdarahan
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian obat pengontrol perdarahan, jika perlu
Kolaborasi pemberian produk darah, jika perlu
Kolaborasi pemberian produk pelunak tinja, jika perlu
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Penyakit hati (liver) merupakan salah satu penyakit yang masih menjadi masalah kesehatan, baik di negara maju maupun di negara yang sedang berkembang. Kerusakan atau masalah pada hati dapat disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya obat-obatan yang sering dikonsumsi serta melebihi kadar yang dianjurkan, toksin dari makanan, alkohol, dan virus hepatitis. Kerusakan hati apabila dibiarkan selama bertahun-tahun maka akan terjadi penyakit hati kronis salah satunya adalah sirosis hepatis (Sinurat dan Purba, 2018 ).
Sirosis hati adalah jaringan parut pada hati yang disebabkan oleh kerusakan hati jangka panjang. Jaringan parut menghalangi aliran darah melalui hati dan memperlambat kemampuan hati untuk memproses nutrisi, hormon, obat-obatan, dan racun alami.
Manifestasi klinis meliputi kelelahan, kehilangan semangat, penurunan berat badan, gangguan GI dengan tanda-tanda mual, muntah, jaundice, hepatomegali dan gejala ekstrahepatik dengan tanda-tanda eritema palmaris, spider angioma, atrofi otot, parotis dan pembesaran kelenjar lakrimal, ginekomastia dan atrofi testis pada pria, gangguan menstruasi pada wanita dan koagulopati.
Pemeriksaan penunjang terdiri dari pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan radiologi, pemeriksaan endoskopi dan biopsi hati. Komplikasi sirosis hepatis yaitu hipertensi portal, asites hipoalbumin, varises esofagus, Peritonitis Bacterial Spontan (SBP), sindrom hepatorenal.
Penatalaksanaan pada penderita sirosis hati haruslah berdasarkan pencegahan dan perkembangan sirosis hati tersebut. Ada dua pendekatan dalam penatalaksanaan sirosis hati, yaitu pendekatan pertama merupakan pengobatan etiologi yang akan menyebabkan peradangan hati dan juga perkembangan dari sirosis hati tersebut, sedangkan pada pendekatan yang kedua didasarkan pada pengobatan komplikasi dari sirosis hati tersebut.
Saran
Setelah membaca makalah ini, di harapkan Mahasiswa dapat mencari lebih banyak lagi pembahasan yang berkaitan dengan Sirosis Hepatis dari buku, jurnal, maupun bacaan dari sumber lain, sehingga pengetahuan Mahasiswa dapat meningkat dan dapat memahami serta menerapkannya dalam memberikan pelayanan Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Sirosis Hepatis.
DAFTAR PUSTAKA
Amirudin, Rifai. 2015. Fisiologi dan Biokimia Hati. Di dalam: S. Setiati, I. Alwi, A. W. Sudoyo, M. Simadibrata, B. Setiyohadi, A. F. Syam. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi VI. Jilid II. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI.
Goldberg, E., & Chopra, S. 2015. Cirrhosis in adults: Etiologies, clinical manifestations, and diagnosis. Gazy University, 1-25.
Khalili, M., & Burman, B. 2014. Liver disease. In: Hammer, G.D., McPhee, S.J. Pathophysiology of Disease: An IntroductionTo Clinical Medicine, Ed. 7th, USA: The McGraw-Hill Companies, Inc, 385-425.
Kurniawidjaja dan Ramdhan. 2019. Penyakit Akibat Kerja dan Surveilans. UI Publishing Anggota IKAPI & APPTI. Jakarta.
Kusumobroto, Hernomo O., 2012. Sirosis Hati. Di dalam: H. A. Sulaiman, H. N. Akbar, L. A. Lesmana, H. M. Sjaifoellah. Ilmu Penyakit Hati. Edisi I. Jakarta: Sagung Seto.
Maharani, S., Effendi, D., & Lucyana, A. (2018). Gambaran Pemeriksaan Fungsi Hati pada Pasien Sirosis Hepatis yang Dirawat di RSUD Arifin Achmad Provinsi Riau Periode 2013-2015. Jurnal Ilmiah Kesehatan. Jilid. 12 No. 1. 46-51.
Muir, A. J. (2015). Understanding the Complexities of Cirrhosis. In Clinical Therapeutics. https://doi.org/10.1016/j.clinthera.2015.05.507.
National Digestive Diseases Information Clearinghouse, 2014. Cirrhosis. NIH Publication No. 14-1134. New York.
Nurdjanah, S. (2015). Sirosis Hati. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi VI. Jakarta: InternaPublishing.
O’Rourke, J. M., Sagar, V. M., Shah, T., & Shetty, S. (2018). Carcinogenesis on the background of liver fibrosis: Implications for the management of hepatocellular
cancer. In World Journal of Gastroenterology.
https://doi.org/10.3748/wjg.v24.i39.4436.
Paulsen, F., & Waschke, J. (2010). Sobotta, Atlas Anatomi Manusia Jilid 2 : Organ- Organ Dalam. In Atlas der Anatomie des Menschen.
Pedersen, J. S., Bendtsen, F., & Møller, S. (2015). Management of cirrhotic ascites. InTherapeutic Advances in Chronic Disease. https://doi.org/10.1177/2040622315580069.
Piano, S., Tonon, M., & Angeli, P. (2018). Management of ascites and hepatorenal
syndrome. In Hepatology International. https://doi.org/10.1007/s12072-017-
9815-0.
PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI
PPNI. 2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia Edisi 1 Cetakan II. Jakarta: DPP PPNI
PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia Edisi 1 Cetakan II. Jakarta: DPP PPNI
Procopet, B., & Berzigotti, A. (2018). Diagnosis of cirrhosis and portal hypertension : imaging , non-invasive markers of fibrosis and liver biopsy. 5(January), 79–89. https://doi.org/10.1093/gastro/gox012.
Rey, I., Effendi-Ys, R., Dairi, L. B., Siregar, G. A., & Zain, L. H. (2018). Serum
level of IL-6 in liver cirrhosis patients. IOP Conference Series: Earth and
Environmental Science. https://doi.org/10.1088/1755-1315/125/1/012225.
Riskesdas. 2018. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta.
Salerno, F., & La Mura, V. (2015). Treatment of Spontaneous Bacterial Peritonitis.
Digestive Diseases. https://doi.org/10.1159/000375358.
Sherwood, L. (2016). Human physiology from cells to systems Ninth Edition. In Appetite. https://doi.org/10.1016/j.appet.2008.10.006
Sinurat, L.R., & Bunga, T.P.(2018). Peningkatan Status Gizi Pasien Sirosis Hepatis Melalui Regimen Nutrisi di RS Sari Mutiara Medan. Idea Nursing Jurnal. Vol IX No. 2. 1-6.
Siregar dkk. 2021. Pengantar Proses Keperawatan: Konsep, Teori, dan Aplikasi. Yayasan Kita Menulis.
Smith, A., Baumgartner, K., & Bositis, C. (2019). Cirrhosis : Diagnosis and Management.
Snell, R. S. (2012). Anatomi Klinis Berdasarkan Sistem. In EGC. https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004.
Sterns, R.H., & Runyon, B.A. 2014. Hyponatremia in patients with cirrhosis. University of California San Diego.
Tripathi, D., & Hayes, P. C. (2014). Beta-blockers in portal hypertension: New developments and controversies. In
Liver International. https://doi.org/10.1111/liv.12360.
Tsochatzis E.A, Jaime Bosch, Andrew K B, 2014. Liver cirrhosis. The Lancet,383(9930):1749-61
Comments
Post a Comment